Bahasa Indonesia
For Immediate Release
August 19 2008
Contact: John Miller, ETAN, 718-596-7668
Max White, Amnesty International USA, 503-292-8168
Joint statement of Amnesty International
USA, East Timor and Indonesia Action Network (ETAN), and
West Papua Advocacy Team Concerning Congressional Letter to
President Yudhoyono
On July 29, 2008, forty members of the U.S.
House of Representatives sent a letter
to Indonesia’s President Susilo Bambang Yudhoyono
requesting that he release two political prisoners: Filep
Karma and Yusak Pakage. Karma and Pakage are serving 10 and
15-year prison terms for raising a flag during a peaceful
protest in Abepura, Papua, Indonesia. Amnesty International
has declared them prisoners of conscience and leads an
international coalition seeking their release.
While President Yudhoyono has been silent
about the letter, other members of Indonesia’s government
have offered comments through the media. We must
respectfully correct three of their assertions about the
letter. In doing so, we do not presume to speak on behalf of
the members of the U.S. Congress who wrote the letter.
First, the letter is about universally
recognized human rights and therefore it is appropriate and
even required that those rights be addressed by members of
the global community, such as the United States Congress,
without dismissing these legitimate concerns as merely
political.
Ramses Wally, deputy chairman of Papua`s Provincial
Legislative Council (DPRD)`s Commission A, said, "I think
the US Congressmen`s request is a political rather than a
legal move. They claimed they were acting based on the human
rights point of view. The question is which human rights has
Indonesia violated by sentencing Filep Karma and Yusak
Pakage?" The arrest and detention of Karma and Pakage for
raising the morning star flag during a peaceful
demonstration violates their right to freedom of expression
articulated in articles 19 and 20 (1) of the Universal
Declaration of Human Rights:
“Everyone has the right to freedom of
opinion and expression; this right includes freedom to
hold opinions without interference and to seek, receive
and impart information and ideas through any media and
regardless of frontiers,” and “everyone has the right to
freedom of peaceful assembly and association.”
It is reliably reported that Karma and some
others at the same peaceful protest were beaten by
authorities, which clearly violates Article 5, “No one shall
be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading
treatment or punishment.” It is, of course, a particularly
extreme violation of human rights to kill a peaceful
demonstrator, as recently happened in Wanema.
Second, members of Congress who signed the
letter to the President of Indonesia are NOT advocating for
Papua’s independence from Indonesia, nor do the NGO’s to
which Ramses Wally referred. He said the letter was, “part
of a political game mobilized by some international NGOs
which were trying to internationalize the Papua issue so
that West Papua could break away from Indonesia.” It is
misleading to imply that the letter was initiated by the
Free Papua Movement, as some have suggested. Amnesty
International, West Papua Advocacy Team, and the East Timor
and Indonesia Action Network do not take a position
on independence for West Papua.
We and members of the US Congress know that
Karma and Pakage should have fundamental rights regardless
of their political views. They were not accused of engaging
in any acts of violence and are imprisoned for simply
expressing an opinion regarding self-determination for their
people. As political activists do around the globe, they
utilized a visual symbol to make their point.
We are encouraged by
statements from the Defense Minister Juwono Sudarsono,
who said in an interview with Reuters. "I'm trying to
persuade my colleagues in government...that these outbursts
of flag-raising or cultural dignity should be tolerated at a
certain level."
Third and finally, we are well aware of the
U.S. government’s human rights failings and actively work to
ensure respect for human rights by our government, just as
many members of the U.S. Congress do. Amnesty International
USA, for example, vigorously opposes serious human rights
violations by certain US government authorities. That the
U.S. government has violated human rights does not justify
human rights violations by the Indonesian government.
Therefore we respectfully disagree with
Abdillah Toha,
chairman of Indonesia’s House of Representatives (DPR)`s
Inter-parliamentary Cooperation Body, who asserted that
rights violations by the Bush administration was reason
enough for President Yudhoyono to ignore the Congressional
request to respect the rights of Karma and Pakage.
Sincerely,
Amnesty International USA
East Timor and Indonesia Action Network
West Papua Advocacy Team
see also
Untuk Siaran Media
18 Agustus 2008.
Pernyataan bersama Amnesty International, East Timor and
Indonesia Action (ETAN), dan Team Advokasi Papua Barat sehubungan
dengan Surat Kongres kepada Presiden SB Yudoyono.
Pada tanggal 29 July 2009, empat puluh anggota Perwakilan Rakyat
Amerika mengirimkan sebuah surat kepada Presiden Republik Indonesia,
Bapa Susilo Bambang Yudhoyono memohon agar beliau membebaskan dua
tahanan politik yakni Filep Karma dan Yusak Pakage. Karma dan Pakage
kini sedang menjalani 10 dan 15 tahun masa tahanan karena
mengibarkan bendera Bintang Kejora, dalam sebuah demonstrasi damai
di Abepura, Papua, Indonesia. Amnesty International menjadikan
mereka sebagai tawanan hatinurani "prisoner of conscience" dan
menggalang dukungan International untuk pembebasan mereka.
Presiden Republik Indonesia, Bapak Yudhoyono tidak memberikan
reaksi atas surat ini, namun pejabat pemerintah lainnya telah
memberikan berbagai komentar melalui media massa nasional dan
internasional. Dengan penuh hormat harus meluruskan kita harus
meluruskan tiga pernyataan mereka mengenai surat ini.Perlu
ditegaskan bahwa bahwa pernyataan ini kami buat bukan mewakili
anggota Kongres Amerika yang mengirim surat kepada Presiden Republik
Indonesia tersebut.
Pertama, surat itu adalah mengenai hak asasi manusia yang dikenal
secara umum dan karena itu sewajarnya bahkan disyaratkan agar
hak-hak itu disuarakan oleh anggota komunitas dunia. Seperti halnya
Kongres Amerika Serikat, tanpa menghilangkan kepedulian yang penting
ini sebagai kepentingan politik belaka.
Ramses Wally, wakil ketua Komisi A DPRP mengatakan: "saya pikir
permintaan anggota Kongres Amerika ini bersifat politik bukan sebuah
tindakan hukum. Mereka mengklaim bahwa tindakan mereka adalah atas
dasar pandangan hak asasi manusia. Pertanyaannya adalah hak asasi
manusia apa yang Indonesia langgar dalam menjatuhkan hukuman bagi
Filep Karma dan Yusak Pakage?" Penahanan dan pemenjaraan Karma dan
Pakage karena menaikkan bendera bintang fajar dalam sebuah
demonstrasi damai merupakan pelanggaran akan hak kebebasan
berpendapat sebagaimana tertulis dalam pasak 19 dan 20 ayat 1
Pernyataan Umum akan Hak-Hak Asasi Manusia:
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat
tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan
informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan
tidak memandang batas-batas (wilayah)," dan "Setiap orang
mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara
damai.
Menurut sumber terpercaya dilaporkan bahwa Karma dan lain-lainnya
dianiaya aparat dalam demonstrasi damai, yang secara jelas-jelas
melanggar pasal 5, “Tidak seorang pun boleh disiksa atau
diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum secara
tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya. Dan sudah barangtentu,
secara khususnya pelanggaran hak asasi manusia yang paling ekstrim
adalah membunuh dalam sebuah demosntrasi damai sebagaimana terjadi
di Wamena, 9 Agustus 2008 saat rakyat papua merayakan hari pribumi
sedunia.
Kedua, anggota kongres amerika yang menandatangani surat kepada
Presiden Republik Indonesia tidak untuk memperjuangkan kemerdekaan
Papua dari Indonesia, ataupun NGO yang dimaksud oleh Ramses Wally.
Ramses mengatakan bahwa surat itu bagian dari permainan politik yang
dimobilisasi oleh sejumlah Internasional NGO yang mencoba
menginternasionalisasi masalah Papua sebagai upaya memisahkan Papua
Barat dari Indonesia. Tentu saja menyesatkan bila ada yang
mengatakan bahwa bahwa surat itu diprakarsai oleh Gerakan Papua
Merdeka. Karena baik Amnesty International, maupun East Timor and
Indonesia Action Network serta West Papua Advocacy Team tidak
bersikap dalam kemerdekaan Papua Barat.
Kami dan anggota Kongres Amerika memahami bahwa Karma dan Pakage
harus memiliki hak-hak paling dasar terlepas daripada pandangan
politiknya. Mereka tidak dituduh terlibat dalam kekerasaan namun
dipenjarakan semata-mata karena menyatakan pendapatnya mengenai hak
menentukkan nasib sendiri bagi bangsanya. Seperti para aktivis
politik di seluruh dunia, mereka mempergunakan sejumlah simbol
sebagai alat peraga dalam mempertegas pandangannya.
Kami didorong oleh pernyataan dari Menteri Pertahanan, Prof Dr
Juwono Sudarsono, dalam wawancaranya dengan Reuters. "Saya berusaha
meyakinkan kolega saya di pemerintah … bahwa aksi-aksi/ledakan
pengibaran benndera atau kebanggaan budaya seharusnya ditolerir pada
tingkat tertentu."
Ketiga dan akhirnya, kita sangat menyadari akan kelemahan
Pemerintah Amerika Serikat dalam penegakkan Hak Asasi Manusia. Oleh
karena itu kami secara aktif bekerja untuk memastikan agar
pemerintah kami menghormati hak asasi manusia, sebagaimana dilakukan
pula oleh sejumlah anggota Kongres Amerika. Amnesty International
Amerika Serikat, misalnya dengan penuh semangat menentang berbagai
pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh sejumlah Pejabat Pemerintah
Amerika Serikat.
Karena itu dengan segala hormat kami tidak sependapat dengan
Abdillah Toha, Ketua DPR RI, Lembaga Kerjasama Interparlemen, yang
menyatakan secara tegas bahwa pelanggaran Hak oleh Pemerintahan Bush
dapat dijadikan alasan yang kuat bagi Presiden Yudhoyono untuk tidak
mengabaikan permintaan anggota Kongres agar menghargai hak asasi
Karma dan Pakage.
Hormat Kami,
Amnesty International
East Timor and Indonesia Action Network
West Papua Advocacy Team