etmnlong.gif (2291 bytes) spacer
Bahasa Indonesia

CALL FOR JUSTICE ON EAST TIMOR PAST MASS ATROCITIES 
 
Joint Statement on the Release of Martenus Bere – Indicted for Crimes Against Humanity in Timor-Leste 
 
For the past ten years the disinterest of the international community and active efforts by Indonesia have blocked efforts to end impunity for serious crimes committed during the Indonesian occupation of Timor-Leste. Ignoring the pleas of the East Timorese people, the Timor-Leste leadership continues to dismiss their calls for justice and an end to impunity. 
 
We were deeply distressed by the 30 August speech of Timor-Leste President Jose Ramos-Horta and the actions of the governments of Indonesia and Timor-Leste which led to the release of indicted militia leader Martenus Bere. His extra-judicial release violated international law and treaties and undermined the rule of law and the Constitution of Timor-Leste. 
 
We firmly disagree with President Ramos-Horta that the pursuit of justice is “simplistic.”  

We disagree that it is necessary to try everyone who committed crimes between 1974 and 1999, or to try no one. Those who gave the orders must be held accountable before a credible court. We believe the pursuit of justice and accountability for crimes against humanity and war crimes committed during the occupation of Timor-Leste will build democracy and respect for the rule of law in both countries and reconciliation between the two nations. Until there is justice, neither country can “put the past behind.”  We add our voices to those in Timor-Leste and elsewhere calling for an International Tribunal for Timor-Leste. 
 
We recognize that victims of human rights violations in Indonesia and Timor-Leste have much in common, including a desire to see those most responsible for their suffering brought to justice. We fully support the conclusions of the recently completed victims’ congress in Dili and will work on joint campaigns against impunity and for reparations. 

  • We urge the international community and Indonesia to respond to the recommendations included in the CAVR report released by Timor-Leste’s truth commission, including its call for an international tribunal.  
  • Countries should not arm or train the Indonesian military until it has been shown to be accountable for past human rights crimes.  
  • We urge the Indonesian government to fully implement the recommendations directed to it by the CAVR, starting with formally acknowledging receipt of its report and discussing it in the Indonesian Parliament.  
  • The Indonesian Government together with Timor-Leste should fully implement the recommendations of the Commission on Truth and Friendship (CTF), especially the one calling for a Commission for Disappeared Persons to gather data and provide information.

Jakarta, 12 September 2009 

Asmara Nababan – Koordinator, KKPK (Indonesian Working Group on Truth Recovery)
Galuh Wandita – ICTJ JKT (International Center for Transitional Justice)
Rafendi Djamin – HRWG  (Human Rights Working Group)
Usman Hamid – KontraS (Commission on the Disappeared and Victims of Violence)
Miryam Nainggolan – KKPK  
Garda Sembiring – PEC (People Empowerment Consortium)
Mugiyanto – Ikohi (Indonesian Association of the Families of the Disappeared)
Hilmar Farid – JKB  (Network of Cultural Works)
Rusdi Marpaung – Imparsial  (Indonesian Human Rights Monitor)
Dedi Ali Ahmad – PBHI Nasional (Indonesian Legal and Human Rights Association)
John M. Miller – ETAN (East Timor and Indonesia Action Network)

Background  
 
subscribe today to the east-timor listservIn February 2003, the UN-backed Serious Crimes Unit indicted Martenus Bere and other members of the Laksaur Militia for crimes against humanity including murder, rape, torture, enforced disappearances and more. Bere and other Laksaur Militia and Indonesian military officers are accused of carrying out the Suai Church Massacre on 6 September 1999, killing more than 30 unarmed people and three priests, including Indonesian priest Dewanto. Bere was arrested in Suai in early August by the Timor-Leste National Police. Until then, he and more than 300 others indicted by the Serious Crimes Unit lived openly in Indonesia, which has refused to cooperate with any international justice mechanism related to crimes committed in Timor-Leste. An East Timorese judge ordered him held for trial. On August 30, he was released into the custody of the Indonesian ambassador on orders of Timor-Leste Prime Minister Xanana Gusmao and Minster of Justice Lucia Lobato. Bere is believed to still be in Timor-Leste. 
 
During President Ramos-Horta’s speech at the commemoration of the August 30 referendum, he said, “let’s put the past behind. There will be no International Tribunal.” Inexplicably, he continued that “I beg to disagree with their simplistic assertion that the absence of prosecutorial justice fosters impunity and violence.” He also said “We will not replace the Indonesians in their own fight for democracy, human rights and justice.”


MENYERUKAN KEADILAN ATAS KEJAHATAN KEMANUSIAAN DI TIMOR
Pernyataan Bersama

Selama kurun waktu sepuluh tahun ini ketidaktertarikan komunitas internasional, serta usaha-usaha aktif dari pemerintah Indonesia dan Timor Leste telah menghalang-halangi prospek keadilan atas kejahatan-kejahatan HAM berat yang dilakukan selama Timor Timur masih menjadi bagian dari Indonesia. Dengan mengenyampingkan tuntutan dari rakyatnya sendiri, pemerintah Timor Leste dewasa ini terus melanjutkan pengabaian atas tuntutan bagi keadilan dan pengakhiran impunitas tersebut.

Kami amat prihatin atas pidato 30 Agustus 2009 yang baru lalu dari Presiden RDTL Jose Ramos-Horta, serta tindakan-tindakan pemerintah R.I. dan Timor Leste yang berujung pada dilepaskannya Martenus Bere, seorang pimpinan milisi yang tengah berada dalam status sebagai terdakwa. Pelepasannya yang dilakukan secara ekstra-yudisial (bahkan ditengarai ilegal!), tidak saja melanggar hukum internasional, namun juga supremasi hukum (rule of law) dan konstitusi RDTL.

Dengan tegas kami menyatakan ketidaksetujuan atas pernyataan Presiden Ramos-Horta bahwa upaya penegakan keadilan adalah 'urusan yang sepele'. Kami juga tidak sependapat bahwa adalah sebuah keniscayaan untuk menyeret satu per satu, semua saja yang diduga melakukan kejahatan HAM antara tahun 1974 dan 1999 di wilayah yang dulu dikenal sebagai Timor Timur, sebagaimana halnya juga kami tidak sependapat untuk membiarkan agar tidak satu orang pun dihadapkan ke pengadilan. Pihak-pihak yang mengeluarkan perintah/komando seharusnya dapat dimintakan pertanggungjawabannya di hadapan pengadilan yang tidak memihak. Kami percaya bahwa penegakan hukum dan akuntabilitas atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang berlangsung selama pendudukan di wilayah yang dulu dikenal sebagai Timor Timur, akan membangun demokrasi yang sehat dan penghormatan atas supremasi hukum di kedua negara; serta melempangkan jalan bagi rekonsiliasi di antara kedua bangsa. Sampai keadilan ditegakkan, tidaklah sepatutnya kedua negara 'melupakan masa lalu'. Kami turut bersolidaritas kepada siapa saja di Timor Leste, maupun  segenap kalangan di mana pun, yang menyerukan tuntutan bagi Tribunal Internasional bagi Timor Leste.

Kami mengakui bahwa para korban pelanggaran HAM di Indonesia dan Timor Leste memiliki banyak kesamaan, termasuk keinginan untuk melihat pihak-pihak yang paling bertanggung jawab atas penderitaan mereka dihadapkan ke pengadilan. Kami juga mendukung kesimpulan Kongres Korban yang baru saja rampung digelar di Dili dan bertekad untuk bekerja bahu-membahu dalam kampanye bersama memperjuangkan reparasi dan melawan impunitas.

Oleh karena itu:

  • Kami mendesak komunitas internasional serta kedua negara Indonesia dan Timor Leste untuk menanggapi rekomendasi-rekomendasi yang telah tercantum di dalam Laporan Final CAVR, termasuk seruannya bagi sebuah tribunal internasional.

  • Kami juga menyerukan agar tidak ada negara yang menjual persenjataan atau pelatihan bagi militer Indonesia, sampai mau dan mampu menunjukkan akuntabilitasnya atas kejahatan-kejahatan HAM masa lalu.

  • Kami mendesak pemerintah Indonesia agar implementasikan sepenuh-penuhnya rekomendasi-rekomendasi yang telah dinyatakan atasnya oleh Lap. Final CAVR, diawali dengan pengakuan resmi atas penerimaan Laporan Finalnya (Chega!), yang diikuti pembahasan resmi dengan DPR R.I.

  • Pemerintah Indonesia bersama RDTL seyogianya melaksanakan rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP/CTF), khususnya mengacu pada bagian mengenai pembentukan Komisi untuk Orang Hilang dan Pusat Dokumentasi dan Resolusi Konflik.


Jakarta, 12 September 2009

Asmara Nababan – Koordinator, KKPK (Kelompok Kerja Pengungkapan Kebenaran)
Galuh Wandita – ICTJ (International Center for Transitional Justice), Jakarta
Rafendi Djamin – HRWG (Human Rights Working Group)
Usman Hamid – KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan )
Miryam Nainggolan – KKPK (Kelompok Kerja Pengungkapan Kebenaran)
Garda Sembiring – PEC (People's Empowerment Consortium)
Mugiyanto – Ikohi (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia)
Hilmar Farid – JKB (Jaringan Kerja Budaya)
Rusdi Marpaung – Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor)
Dedi Ali Ahmad – PBHI Nasional (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia)
John M. Miller – ETAN (East Timor and Indonesia Action Network)


Latar Belakang

Pada bulan Februari 2003, Unit Kejahatan Serius (Serious Crimes Unit) mendakwa Martenus Bere dan anggota-anggota milisi Laksaur lainnya atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang mencakup pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, penghilangan paksa, dll. Bere, para anggota Milisi Laksaur, serta perwira militer Indonesia lainnya didakwa selaku pelaku pembantaian Gereja Suai tanggal 6 September 1999. Mereka didakwa membunuh 30 orang sipil tak bersenjata, termasuk tiga orang rohaniwan, di antaranya Pastor Dewanto. Bere sendiri ditangkap pada awal bulan Agustus 2009 lalu oleh satuan Kepolisian Nasional Timor Leste. Sebelum peristiwa tersebut, ia beserta lebih dari 300 orang yang berstatus sebagai terdakwa di hadapan Unit Kejahatan Serius (SCU) tinggal dengan bebas di wilayah negara Indonesia – yang memang menolak bentuk kerja sama apa pun dengan mekanisme keadilan internasional – terkait kejahatan HAM di Timor Leste. Sungguhpun Hakim di Timor Leste telah memerintahkan agar Bere dihadapkan ke muka pengadilan, akan tetapi pada tanggal 30 Agustus 2009 ia dilepaskan dari rumah tahanan dan ditempatkan di bawah naungan Kedutaan Besar Indonesia di Dili, di bawah perintah PM Xanana Gusmao dan Menteri Kehakiman Lucia Lobato. Sampai kini Bere diyakini masih berada di wilayah Timor Leste.

Pada tanggal 30 Agustus yang baru lalu, Presiden RDTL Ramos Horta dalam kesempatan peringatan 10 Tahun Referendum menyatakan, “Marilah melupakan masa lalu. Tidak akan ada Tribunal Internasional”. Tanpa menunjukkan pendasarannya, ia serta-merta menambahkan, “Saya mohon agar kita semua mengabaikan tuntutan mereka yang begitu mengada-ada bahwa ketiadaan penegakan keadilan dan tuntutan hukum akan mendorong impunitas dan kekerasan”. PM Horta juga menyatakan bahwa, “Kami tidak akan menggantikan Indonesia dalam perjuangan mereka sendiri atas penegakkan demokrasi, HAM dan keadilan”.


Facebook

ETAN Cause on Facebook
---
ETAN Group on Facebook

Twitter
ETAN Blog ETAN's Blog

ETAN listservs

Subscribe to ETAN's e-mail Listservs


Google
WWW http://www.etan.org

 
     
bar
  spacer

 

make a pledge via credit card here

Bookmark and Share

Background | Take Action | News | Links | What You Can Do | Resources  | Contact

ETAN Store | Estafeta | ImagesHome | Timor Postings | Search | Site Index |