
Bahasa Indonesia:
Kelompok-kelompok yang Mendesak
Pemerintah Baru Indonesia untuk Mengejar
Keadilan dan Menghormati Hak Asasi
Read: Statement to the next
government of Indonesia on human
rights (June 30)
Media Release
Contact (English):
John M. Miller, ETAN, +1-917-690-4391,
john@etan.org
Contact (Bahasa
Indonesia): Andrew de Sousa,
+66-904241290,
a.desousa@focusweb.org
Groups Urge Any New Government of
Indonesia to Pursue Justice and Respect
Rights
June 30, 2014
- In a
statement released today human
rights groups urged the next government
of Indonesia "to break with the past
[and] fully and meaningfully address the
legacy of impunity for past human rights
violations," adding that "the continued
lack of accountability for past and
ongoing violations of human rights
threatens lasting progress."
The statement,
coordinated by the East Timor and
Indonesia Action Network (ETAN)
and
signed by 32 organizations based in
a dozen countries, urged the Indonesia
government to “provide meaningful
reparations for the victims, survivors
and their families of egregious human
rights crimes.” It also called on the
next government to bring the military
“fully under civilian control and the
rule of law.”
| |
The next government of Indonesia
must break with the past and fully
and meaningfully address the legacy
of impunity for past human rights
violations.
|
The groups wrote
that “Indonesian security forces operate
with near impunity in the provinces of
West Papua and Papua,” and called for
the release of political prisoners,
respect for freedom of expression, and
ending restrictions on international
access to the region.
The groups also
urged the new government to build
“genuine relationships between peoples”
of Indonesia and Timor-Leste by
committing to “an international tribunal
to prosecute crimes against humanity and
war crimes committed during the
occupation, the opening of all relevant
historical archives, including those of
the TNI, and reparations for victims of
Indonesia’s security forces."
"We are well aware that one presidential
contender is an admitted and serial
human rights violator and that the other
has a former general indicted for crimes
against humanity in Timor-Leste on his
campaign team," said John M. Miller,
coordinator of ETAN.
"However, Indonesia's new parliament and
whoever becomes president have
obligations under Indonesian law and
international treaties. Our statement
provides some measures with which to
evaluate the new government's actions on
human rights."
 |
 |
|
A woman cries as 1000 'tombs' highlight
rights violations in Indonesia at a protest in Jakarta.
(REUTERS/Dadang Tri) |
East Timorese demonstrate in
Dili for justice. Photo by
Karen Orenstein/ETAN |
BACKGROUND
In April,
Indonesians elected a new parliament
that will be sworn in October 1. On July
9, they will vote on a new President who
will take office October 20. Aspects of
one candidate’s human rights record have
been the subject of debate during the
presidential campaign.
Former
general
Prabowo Subianto has been implicated
in a series of human rights violations
in Timor-Leste, Jakarta and elsewhere
during his military career. He has
confessed to kidnapping activists and
planning a coup in May 1998. Recently,
journalist
Allan Nairn reported that Prabowo
had called "Indonesia is not ready for
democracy,” and while praising the
military dictatorship of Pakistan’s
General Pervez Musharraf, Prabowo asked
"Do I have the guts, am I ready to be
called a fascist dictator?" Referring to
the
1991 Santa Cruz massacre in
Timor-Leste, Prabowo said that “You
don't massacre civilians in front of the
world press,” saying that "Maybe
commanders do it in villages where no
one will ever know…”
His opponent
Jakarta Governor Joko Widodo is younger
and has never served in the
military, but
among his campaign team are several
former generals accused of serious
violations of human rights. General
Wiranto was indicted in Timor-Leste
for his role in the violence surrounding
its independence ballot.
General AM Hendropriyono has been
implicated in a 1989 massacre of
civilians Central Lampung, the
assassination of human rights lawyer
Munir while head of Indonesia’s
intelligence agency (BIN), and in the
forced deportation of over 250,000
people from East to West Timor in 1999.
Other tainted Widodo supporters include:
Former BIN deputy chief retired Major
General Muchdi Purwoprandjono who is
also
accused in the murder of Munir and
former Jakarta Military Commander
Lieutenant General
Sutiyoso,
accused of torture in Timor-Leste. A
2007
attempt to question him about the
October 1975
murder of five journalist in Balibo,
Timor-Leste, caused a diplomatic
incident. He was Jakarta military
commander when thugs backed by troops
and police attacked the headquarters of
the Indonesian Democratic Party in 1996.
Retired
General Ryamizard Ryacudu was “a
hardline general known for his
xenophobic remarks and criticism of
rights activists.” As army chief of
staff he oversaw the implementation of
martial law in Aceh beginning in May
2003.
The
East Timor
and Indonesia
Action
Network (ETAN) was
founded in 1991. ETAN supports
democracy, human rights and justice in
Timor-Leste, West Papua and Indonesia.
ETAN is non-partisan. It works on issues
and does not support candidates or
political parties in any country.
Website:
www.etan.org
Twitter: @etan009.
See also
Human
Rights, Accountability and Justice
page
Indonesian
Struggles
Rilis Media
Kontak (bahasa Inggris): John M. Miller,
ETAN, +1-917-690-4391,
john@etan.org
Kontak (bahasa Indonesia): Andrew de
Sousa, +66-904241290,
a.desousa@focusweb.org
Kelompok-kelompok
yang Mendesak Pemerintah Baru Indonesia
untuk Mengejar Keadilan dan Menghormati
Hak Asasi.
Tanggal 30 Juni
2014
– Dalam pernyataan yang dikeluarkan hari
ini, kelompok pembela hak asasi manusia
mendesak pemerintah Indonesia yang baru
untuk “segera memutuskan hubungan
terhadap masa lalu dan secara serius
menyelesaikan warisan pengampunan (impunitas)
terhadap pelanggaran hak asasi manusia
yang terjadi di Indonesia," dan
menambahkan bahwa “kurangnya proses
pertanggung-jawaban terhadap kasus-kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di masa
lalu dan juga sekarang akan mengancam
kemajuan proses demokrasi Indonesia yang
sedang berjalan."
Pernyataan ini, dikoordinasi oleh East
Timor and Indonesia Action
Network (ETAN) dan ditanda-tangani oleh
32 lembaga berasal dari 12 negara,
mendesak kepada pemerintah Indonesia
untuk “memenuhi pemulihan para korban
dan juga keluarga mereka yang mengalami
pelanggaran HAM berat.” Dan juga
menyerukan kepada pemerintahan yang baru
untuk menempatkan institusi militer “
agar secara penuh tunduk terhadap
kekuasaan sipil dan peraturan-peraturan
hukum yang ada.”
Gabungan kelompok ini menuliskan bahwa
“Pasukan keamanan Indonesia beroperasi
dengan impunitas di propinsi Papua dan
Papua Barat,” mereka juga menyerukan
untuk tahanan politik dibebaskan,
menghormati kebebasan berpendapat dan
mengakhiri pelarangan akses
internasional ke dalam wilayah tersebut.”
Kelompok-kelompok ini juga mendesak
pemerintahan yang baru untuk membangun
“hubungan yang tulus antara rakyat
Indonesia dan Timor Leste dengan
berkomitmen penuh melaksanakan
pengadilan internasional untuk menghukum
pelaku kejahatan kemanusiaan dan
kejahatan perang yang dilakukan pada
masa Indonesia menjajah Timor Leste,
membuka seluruh arsip-arsip bersejarah
yang terkait dengan isu tersebut,
termasuk yang ada dalam arsip TNI dan
juga pemulihan bagi korban kekerasan
pasukan keamanan Indonesia.”
"Kami
menyadari bahwa salah satu calon
presiden telah dinyatakan sebagai pelaku
pelanggar hak asasi manusia dan calon
lain berkoalisi dengan mantan Jenderal
yang telah didakwa sebagai penjahat HAM
di Timor-Leste sebagai tim kampanye
dirinya,” kata koordinator ETAN John M.
Miller.
"Akan
tetapi, bagi anggota parlemen baru
Indonesia dan siapapun yang akan duduk
sebagai presiden nantinya mempunyai
kewajiban di bawah hukum Indonesia dan
juga perjanjian hukum internasional
untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut. Pernyataan ini memberikan dan
menyediakan ukuran mana yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi aksi
pemerintahan baru terhadap pemenuhan hak
asasi manusia di Indonesia."
Latar Belakang
Pada bulan April, rakyat Indonesia telah
memilih anggota parlemen baru mereka.
Pada tanggal 9 Juli nanti, mereka akan
memilih Presiden yang sedianya akan
mulai bekerja pada Oktober 2014. Salah
satu dari kandidat tersebut mempunyai
catatan hak asasi manusia yang kerap
menjadi perdebatan dalam proses kampanye
saat ini.
Keterlibatan mantan Jenderal Prabowo
Subianto dalam beberapa kasus
pelanggaran hak asasi manusia di Timor
Leste, Jakarta dan beberapa tempat lain
pada saat dirinya berkarir di militer.
Ia pun telah mengakui keterlibatannya
terhadap penculikan aktivis dan rencana
kudeta pada tahun 1998. Baru-baru ini,
seorang jurnalis bernama
Allan Nairn
melaporkan bahwa Prabowo
mengatakan “Indonesia belum siap
untuk demokrasi,” dan
pada saat yang sama memuji pemerintahan
diktaktor militer Pakistan Jenderal
Pervez Musharraf, Prabowo bertanya pada
saat itu "Apa saya cukup punya
nyali, apa saya siap jika disebut 'diktator
fasis'?" Mengacu pada
pembunuhan masal Santa Cruz pada tahun
1991 di Timor Leste, Prabowo mengatakan
“Anda tidak semestinya membunuh
warga sipil di depan pers internasional,…
Komandan-komandan itu bisa saja
membantai di desa-desa terpencil
sehingga tak diketahui siapapun, tapi
bukan di ibukota provinsi!”
Lawannya Gubernur Jakarta Joko Widodo,
tidak pernah bertugas di militer, namun
di dalam tim kapanyenya terdapat
beberapa mantan Jenderal yang didakwa
karena melakukan pelanggaran HAM berat.
Jenderal Wiranto didakwa di Timor Leste
karena perannya pada peristiwa kekerasan
di sekitar tempat pemungutan suara untuk
kemerdekaan di Timor Leste. Jenderal AM
Hendropriyono didakwa karena pembunuhan
masal masyarakat sipil di Lampung Tengah
pada tahun 1989, pembunuhan pengacara
hak asasi manusia Munir pada saat
dirinya menjabat sebagai kepala BIN, dan
dirinya mendeportasi dengan paksa lebih
dari 250.000 orang dari Timor Timur ke
Timor barat pada tahun 1999. Beberapa
pendukung Widodo yang juga kotor adalah:
Mantan kepala intelejen, pensiunan
jenderal Muchdi Purwoprandjono yang
diduga terlibat dalam pembunuhan Munir
dan pensiunan Komandan Militer Jakarta
Lentan Jenderal
Sutiyoso,
yang didakwa terhadap kasus penyiksaan
di Timor Leste. Pada tahun 2007, upaya
untuk menanyakan dirinya tentang kasus
pembunuhan jurnalis di Balibo pada tahun
1975 menyebabkan insiden diplomatik.
Ketika penyerangan markas Partai
Demokrasi Indonesia tahun 1996, Sutiyoso
saat itu masih menjabat sebagai komandan
militer Jakarta. Pensiunan Jenderal
General Ryamizard Ryacudu
adalah seorang “seorang jenderal garis
keras yang dikenal karena pernyataan
xenophobik dan kritikan terhadap aktifis
hak asasi manusia.” Sebagai kepala staff
tentara Indonesia, dirinya pada saat itu
mengawasi impelementasi darurat militer
di Aceh pada awal tahun 2003.
East Timor and Indonesia
Action Network
(ETAN) didirikan pada tahun 1991. ETAN
mendukung demokrasi, hak asasi manusia
dan keadilan di Timor Leste, Papua dan
Indonesia. ETAN adalah organisasi
non-partisan (tidak berpihak). Bekerja
akan isu-isu dan tidak mendukung
kandidat maupun partai politik dari
negara manapun. Situs:
www.etan.org
Twitter: @etan009.
