|
|
Pemerintahan President Bush Melatih Para Anggota
Kelompok Teroris IndonesiaBush Administration Trains Members of Indonesian Terrorist
Groups
Abandons Human Rights for Indonesia to Train Its Worst Military and
Police
Contact: John M. Miller (ETAN), (917) 690-4391
Ed McWilliams (WPAT), (703) 899-5285
December 19, 2007 - Human rights advocates have learned that the
U.S. is training members of Kopassus, the notorious Indonesian
Special Forces unit with a long record of human rights violations.
The similarly-brutal Brimob, the para-military mobile police
brigade, is receiving training as well.
The East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) and the
West Papua Advocacy Team (WPAT) today strongly condemned U.S.
training for the two units, saying that it undermines the little
credibility the U.S. has left in promoting human rights and
accountability in Indonesia. ETAN and WPAT urged Congress to
intervene to prevent such training and called on the administration
to publicly pledge not to provide further assistance to the two
units.
|
|
Brimob |
|
"The Bush administration promised Congress that it would
‘carefully calibrate’ any security assistance to promote reform and
human rights," said John M. Miller, National Coordinator of ETAN.
"Getting in bed again with Kopassus and Brimob promotes the
opposite. Clearly, the administration's moral gauges are in need of
a major realignment."
"The Bush administration may see Kopassus and Brimob – the worst
of the worst among Indonesia’s security forces -- as allies against
terrorism, but, to most, they act like terrorist groups, regularly
targeting civilians for political ends," added Miller.
"Up until the present, Kopassus and Brimob have long histories of
violating human rights throughout Indonesia, notably in West Papua,
in East Timor and elsewhere," said Ed McWilliams of WPAT and former
Political Counselor at the U.S. Embassy in Jakarta from 1996 to1999.
"There can be no doubt that Kopassus and Brimob will portray the
training as an exoneration by the U.S. Their many victims will shake
their heads in disbelief at the U.S. government claim that it is
using security assistance to promote human rights." In the past,
Congress has cut off military assistance for the Indonesian military
specifically because of the kind of brutality that Kopassus --
identifiable by their red berets -- is known for.
"Assertions that the trainees were vetted for past human rights
violations before receiving International Military and Education
Training (IMET) or other training are pointless. They will bring the
experience gained by such training back to their units. This can
only make them more efficient at their villainous activities," added
McWilliams. He also noted that a
2005 Congressional study revealed that vetting for IMET programs
was ineffective. The State Department continues to describe its
defective vetting program as a "work in progress."
Background
The
poor human rights records of both Kopassus and Brimob are
well-documented by Amnesty International and other human rights
organizations. This week in the Consolidated
Appropriations bill, Congress again recognized the need to hold
accountable those responsible for past human rights violations in
Indonesia and East Timor, many of which involved Brimob and
Kopassus. The bill also seeks to
strengthen U.S. law to prevent training of units that have
“committed gross violations of human rights.”
A
covert Kopassus operations manual, found in the ashes of East
Timor after Indonesia withdrew in 1999, states that Kopassus
personnel were to be prepared in the "tactic and technique" of
"terror" and "kidnapping."
Dr. Damien Kingsbury,
an Australian expert on the Indonesian military, has written that
"Kopassus has murdered and tortured political activists, trade
unionists and human rights workers. It has also trained, equipped
and led militias in East Timor, West Papua and Aceh, and Kopassus
members trained the notorious Laskar Jihad Islamic militia, which
stepped up conflict in the Ambon region, leaving up to 10,000 dead.
It was Kopassus that murdered Papuan independence leader Theys Eluay
in 2001." Kopassus was also involved in the 1998 killing of students
and the kidnapping of pro-democracy activists in Jakarta.
Major
General Sunarko, the current commander of Kopassus, was
stationed in East Timor in 1996 and 1997 and again in 1999, where he
was Intelligence Assistant to the Kopassus Commander. Kopassus
played a key role in organizing the militia in East Timor at that
time.
Current Brimob Commander Police General Inspector Sylvanus Wenas and
others were accused by Komnas HAM, Indonesia's National
Commission on Human Rights, of gross violations of human rights in
an attack on a student hostel in Abepura, West Papua, in 2000.
Several times this year, Brimob attacked the Kingmi Church in
Jayapura, West Papua.
A
report commissioned by the UN Office of the High Commissioner for
Human Rights states that Brimob officers committed most of the
violations of human rights by police in East Timor in 1999. Brimob
was involved in massacres in Liquiça in April and at the Suai
cathedral in September and an attack on the UN compound in early
September.
In all cases, senior Kopassus and Brimob personnel have not been
brought to justice.
-30-
Pemerintahan President Bush Melatih Para Anggota
Kelompok Teroris Indonesia
Mengabaikan Hak Asasi Manusia bagi Indonesia
19 Desember 2007 -- Para pejuang Hak Asasi Manusia menyingkapkan
bahwa Amerika Serikat memberikan pelatihan bagi para anggota
Kopassus (Komando Pasukan Khusus), satuan khusus militer yang
terkenal buruk karena catatan panjang pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang dilakukannya. Satuan yang sama brutalnya, yaitu Brimob (Brigade
Mobil), satuan kepolisian yang berciri militer, juga menerima
pelatihan tersebut. .
Hari ini, The East Timor and Indonesia Action Network (ETAN)
dan the West Papua Advocacy Team secara tegas mengutuk
pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh Amerika Serikat atas dua
satuan tersebut, karena pelatihan-pelatihan tersebut merusak
kredibilitas Amerika Serikat yang sudah tersisa sedikit itu dalam
hal dukungan terhadap hak asasi dan akuntabilitas di Indonesia. ETAN
dan WPAT mendesak Congress untuk mengintervensi,
menghentikan pelatihan-pelatihan tersebut dan meminta Pemerintahan
Bush berjanji di hadapan publik untuk tidak lagi memberikan bantuan
kepada dua unit tersebut.
"Pemerintahan Bush berjanji kepada Congress bahwa mereka akan
'secara cermat menyesuaikan' bantuan militer untuk mendukung
reformasi dan Hak Asasi Manusia", demikian dikatakan oleh John M.
Miller, Koordinator Nasional ETAN. "Kembali bergandengan tangan
dengan Kopassus dan Brimob justru merupakan langkah terbalik.
Standar moral Pemerintahan Bush rupanya perlu untuk diluruskan."
"Pemerintahan Bush melihat Kopassus dan Brimob -- unit-unit terburuk
dalam tubuh angkatan bersenjata Indonesia -- sebagai rekanan untuk
melawan terorisme, akan tetapi unit-unit ini justru bertingkah
seperti kelompok teroris, secara reguler mengorbankan penduduk sipil
untuk mengejar tujuan-tujuan politik mereka," demikian ditambahkan
oleh Miller.
"Sampai saat ini, Kopassus dan Brimob mempunyai catatan panjang
pelanggaran Hak Asasi Manusia di seluruh Indonesia, yaitu Papua
Barat, Timor Timur, dan di berbagai tempat," kata Ed McWilliams
dari WPAT yang adalah juga mantan Penasihat Politik di Kedutaan
Besar Amerika Serikat di Jakarta periode 1996 sampai 1999. "Tidak
diragukan lagi Kopassus and Brimob memandang pelatihan-pelatihan
tersebut sebagai pernyataan dari Amerika Serikat bahwa Kopassus dan
Brimob tidak bersalah. Para korban Kopassus dan Brimob tentunya
menggelengkan kepala tidak percaya atas klaim pemerintah Amerika
Serikat bahwa bantuan militer mendukung Hak Asasi Manusia." Sebab,
dahulu Congress pernah memutuskan bantuan militer ke
Indonesia dikarenakan kebrutalan Kopassus, yang juga dikenal sebagai
satuan baret merah itu.
"Penegasan bahwa para peserta latihan disaring berdasarkan
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang pernah dilakukan sebelum mereka
itu menerima bantuan International Military and Education
Training (IMET) (Pelatihan Pendidikan Militer Internasional)
dan pelatihan-pelatihan lainnya, adalah omong kosong belaka. Para
peserta latihan tersebut akan membagikan hasil pelatihan itu kepada
unit-unit mereka. Pelatihan-pelatihan itu hanya menjadikan mereka
ini lebih efisien dalam aktivitas-aktivitas kejahatan," ditambahkan
oleh McWilliams. Dia juga menyebutkan bahwa sebuah studi yang
diselenggaran oleh Congress pada tahun 2005 menyingkapkan bahwa
penyaringan bagi program-program IMET, tidak efektif. Akan tetapi
State Department (Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat) terus
saja berdalih bahwa program penyaringan tersebut masih dalam rangka
perbaikan berkelanjutan."
Latar Belakang
Buruknya catatan Hak Asasi Manusia dari Kopassus dan Brimob
didokumentasikan secara cermat oleh Amnesty International dan
kelompok Hak Asasi Manusia lainnya. Minggu ini, dalam
Consolidated Appropriations Bill (Undang-undang Apropriasi
Terpadu), Congress sekali lagi menyadari pentingnya
pertanggungjawaban atas para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia di
Indonesia dan Timor Timur, yang sebagian besar adalah para anggota
Brimob dan Kopassus. Undang-undang tersebut juga memperkuat hukum
Amerika Serikat supaya dapat mencegah pelatihan bagi satuan-satuan
yang "melakukan pelanggaran serius Hak Asasi Manusia."
Sebuah buku petunjuk operasi bagi para anggota Kopassus, yang
tersembunyi bagi masyarakat luas, ditemukan di tengah reruntuhan di
Timor Timur setelah Indonesia mengundurkan diri di tahun 1999. Di
dalam buku petunjuk operasi tersebut, terdapat petunjuk yang
mengatakan bahwa para anggota Kopassus dilatih dengan "taktik dan
teknik" untuk melakukan "teror" dan "penculikan".
Dr. Damien Kingsbury, seorang warga negara Australia ahli tentang
militer Indonesia, menulis bahwa "Kopassus telah membunuh dan
menyiksa para aktivis politik, anggota serikat buruh, dan pekerja
Hak Asasi Manusia. Kopassus juga telah melatih, melengkapi, memimpin
milisi-milisi di Timor Timur, Papua Barat, dan Aceh, dan milisi
Islam Laskar Jihad yang bertanggungjawab atas konflik di Ambon, yang
memakan korban jiwa sekitar 10,000 orang. Kopassus membunuh pemimpin
gerakan kemerdekaan Papua Theys Eluay di tahun 2001." Kopassus juga
telah terlibat dalam peristiwa pembunuhan para mahasiswa dan
penculikan para pendukung demokrasi di Jakarta di tahun 1998.
Mayor Jenderal Sunarko, komandan Kopassus saat ini, ditugaskan di
Timor Timur pada tahun 1996, 1997 dan 1999, sewaktu ia menjabat
sebagai Asisten Inteligen bagi Komandan Kopassus saat itu. Kopassus
memainkan peranan kunci dalam mengorganisasikan milisi-milisi di
Timor Timur saat itu.
Komandan Brimob saat ini, Inspektur Jenderal Sylvanus Wenas pernah
adalah salah satu tertuduh dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia
penyerangan atas asrama mahasiswa di Abepura, Papua Barat pada tahun
2000. Tahun ini, beberapa kali Brimob juga melakukan serangan atas
Gereja Kingki di Jayapura, Papua Barat.
Sebuah laporan yang dimandatkan oleh Office of the High
Commissioner for Human Rights (Kantor Komisioner Tinggi Hak
Asasi Manusia) Perserikatan Bangsa Bangsa, menyingkapkan bahwa
pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh angkatan kepolisian di Timor
Timur pada tahun 1999, paling banyak dilakukan oleh para perwira
Brimob. Brimob juga terlibat dalam pembantaian di Liquica pada
bulan April, di Gereja Katedral Suai pada bulan September, dan
serangan atas kamp Perserikatan Bangsa Bangsa di bulan September
tahun yang sama.
Akan tetapi, tidak dalam satu kasus pun perwira senior Kopassus dan
Brimob dihadapkan ke depan pengadilan.
|