ETAN Menyerukan Kembali
Tuntutan Keadilan Sesungguhnya bagi Korban Pendudukan
Indonesia
Pengadilan
Internasional Diperlukan untuk Menyikapi Laporan Komisi
Kebenaran dan Persahabatan
Kontak: John M.
Miller, Kordinator Nasional, +1/718-596-7668
14 Juli – Laporan baru
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) bi-lateral
memang membuat sedikit kemajuan dalam mengungkap
pertanggungjawaban atas berbagai kejahatan terhadap
kemanusiaan yang dilakukan Indonesia atas Timor Leste,
menurut East Timor and Indonesia Action Network
(ETAN) yang berbasis di AS, hari ini.
Laporan, Per Memoriam Ad Spem (Dari Ingatan menuju
Harapan), dijadwalkan untuk diserahkan pada presiden
Indoneaia dan Timor-Leste di Bali pada hari Selasa.
“Impunitas tetap diberikan atas pelaku berbagai
kejahatan melawan kemanusiaan dari Indonesia yang tak
terhitung jumlahnya di Timor Leste. Laporan komisi tidak
membawa kemajuan dalam menegakkan keadilan bagi ribuan
korban dan keluarganya”, kata John M. Miller,
Koordinator Nasional ETAN.
“Komisi dibatasi hanya mengkaji tahun 1999, tahun
terakhir dari 24 tahun masa pendudukan ilegal Indonesia.
Dalam batasan periode itu sekalipun, Komisi dilarang
menyebut nama-nama pelaku kejahatan atau
merekomendasikan cara menerapkan keadilan atas mereka,”
imbuh Miller.
“Kami
mendesak Komisi mengakui tanggung jawab kelembagaan
pemerintah Indonesia dan kekuatan militernya, dan
menolak merekomendasikan amnesti atau memberikan
kredibilitas atas pembelaan diri para jenderal
Indonesia, kata Miller. “Rangkap awal yang telah kami
lihat lebih baik daripada yang banyak dikawatirkan, tapi
tidak boleh menjadi putusan akhir.”
"Selain itu, membangun dan mengakui tanggung jawab
kelembagaan memang penting, tetapi kebijakan-kebijakan
represif di Timor-Leste pada tahun 1999 diperintahkan
dan dilakukan oleh orang per orang," tambah Miller.
"Pengadilan kriminal internasional adalah cara paling
efektif menerapkan keadilan atas mereka. Ini akan
memberi pesan jelas kepada mereka yang mempertimbangkan
melakukan kejahatan serupa di masa mendatang. Kami
mendesak Dewan Keamanan PBB menggelar pengadilan ini,"
tambahnya.
”Laporan KKP jelas merupakan dokumen politik, hasil
kompromi anggota komisi dari Indonesia dan Timor-Leste,
ketimbang penggambaran kejadian yang jelas dan
obyektif,” kata Miller. "Sebagai misal, laporan ini
bersikukuh atas laporan berat sebelah terhadap kekerasan
oleh milisi pro-Indonesia dan pro-kemerdekaan." "Laporan
CTF menawarkan sejumlah pembaharuan di Indonesia. Selama
bertahun-tahun, pemerintah Indonesia sudah berjanji
melaksanakannya. Sayangnya,
pembaharuan dihalang-halangi oleh kaum oposisi dari
kalangan militer yang sangat berkuasa," lanjut Miller.
Sejumlah jenderal – termasuk calon presiden Wiranto yang
memimpin militer Indonesia selama tahun 1999 dan
tertuduh kejahatan atas kemanusiaan di Timor-Leste,
telah menolak temuan-temuan dalam laporan itu tentang
keterlibatan institusional.
Miller
mendesak kedua pemerintah segera menyebarkan laporan
tersebut ke publik, sehingga khalayak bisa menilai
secara penuh kualitas dan rekomendasinya. Persahabatan
pejabat kedua Negara tidak boleh dijadikan alasan
mengabaikan keadilan bagi pelaku kejahatan dan reparasi
bagi para korbannya.”
"Indonesia, Timor-Leste, dan PBB telah menghasilkan
sejumlah laporan resmi tentang pembantaian tahun 1999,
sebagian menjadi dasar dari laporan KKP.
Nama-nama pelaku sudah disebutkan, dakwaan sudah
dikeluarkan, dan sejumlah pengadilan digelar, meski
hanya untuk pelaku lapisan bawah (oleh PBB) atau tanpa
niat serius (oleh Indonesia). Sembilan tahun setelah
tentara Indonesia dan para milisi menghancurkan
Timor-Leste, para pejabat senior Indonesia yang terlibat
dalam kejadian itu memperoleh kenaikan pangkat, aktif di
dunia politik atau menjalani pensiun yang mewah,” kata
Miller. “Kegagalan menerapkan keadilan
atas mereka akan terus melemahkan penegakan HAM dan
hukum di kedua negara.”
Laporan KKP lebih terpercaya dari yang diharapkan,
meskipun temuan-temuannya banyak menegaskan hal-hal yang
sudah disimpulkan dalam laporan-laporan jauh sebelumnya,
terutama bahwa militer, polisi dan pemerintah Indonesia
mengendalikan milisi anti-kemerdekaan, serta terlibat
langsung dalam dalam kekerasan dan pengrusakan atas
mayoritas penduduk Timor-Leste yang mendukung
kemerdekaan,” kata Miller. ”Namun, laporan ini membuat
sejumlah pernyataan yang amat problematis.”
”Kami
tidak bisa menerima kesimpulan KKP bahwa pembantaian
tahun 1999 disebabkan oleh gagalnya lapisan bawah
tentara Indonesia mematuhi kebijakan menghormati HAM,
yang dikeluarkan baru saja. Kampanye intimidasi
kekerasan begitu terencana dengan baik dan menyeluruh,
sehingga pasti ada perintah dalam rantai komando untuk
melakukan kejahatan atas kemanusiaan. Peristiwa tahun
1999 merupakan hasil langsung dari pendudukan militer
brutal Jakarta selama 23 sebelumnya,” kata Miller.
“Laporan KKP berusaha menyeimbangkan kejahatan masif
militer Indonesia dengan tuduhan sejumlah kecil
pelanggaran HAM (umumnya penahanan ilegal) oleh
pendukung pro-kemerdekaan, menciptakan perbandingan tak
jujur antara orang-orang yang memperjuangkan hak sah
atas penentuan diri dan mereka yang melakukan pendudukan
militer ilegal. Tidaklah benar membebankan tanggung
jawab terhadap pemerintah Timor-Leste sekarang atas
sejumlah kecil aksi yang berlawanan dengan kebijakan
gerakan perlawanan.”
LATAR BELAKANG
Indonesia menginvasi tetangganya Timor-Leste pada
Desember 1975 lewat sebuah aksi agresi militer.
Pendudukan selama 24 tahun selanjutnya, yang menewaskan
100.000 penduduk sipil Timor, tidak pernah diakui PBB.
Ketika warga Timor Timur akhirnya dibolehkan
mengemukakan pandangannya melalui referendum yang
diselenggarakan PBB di tahun 1999, hampir 80% memilih
merdeka. Baik sebelum dan sesudah referendum, militer
dan polisi Indonesia, dibantu oleh milisi dari warga
Timor yang mereka ciptakan dan kelola, menciptakan
suasana teror di Timor-Leste, yang akhirnya menyebar ke
seluruh penjuru negeri ini. Di tahun terakhir
pendudukan, militer Indonesia dan milisi mereka membunuh
lebih dari 1.400 orang, memaksa mengungsi ratusan ribu,
serta membakar atau menghancurkan 75% gedung dan
infrastruktur di Timor-Leste.
Di
penghujung 2004, presiden Indonesia dan Timor-Leste
menawarkan Komisi Kebenaran dan Persahabatan untuk
mencoba mengurungkan niat Sekretaris PBB untuk
mengangkat
Commission of Experts
(COE – Komisi Ahli). Namun, PBB tetap membentuk COE,
yang laporannya pada Juni 2005 mendokumentasikan tidak
memadainya usaha menerapkan keadilan atas kejahatan
melawan kemanusiaan yang dilakukan pada tahun 1999.
Komisi
Ahli menegaskan kembali laporan resmi dan tak resmi
lainnya dengan merekomendasikan agar pengadilan kriminal
internasional diselenggarakan dalam jangka enam bulan,
jika Indonesia gagal menjamin akuntabilitas atas mereka
yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM mematikan dan
penderitaan manusia dalam skala luas.
KKP
dimandatkan membangun "catatan sejarah bersama tentang
laporan pelanggaran HAM yang terjadi pada masa sebelum
dan langsung setelah referendum yang berlangsung di
Timor-Leste pada Agustus 1999" guna membawa "penutup
yang pasti atas isu-isu masa lalu." Namun, mandatnya
melarang komisi merekomendasikan pengadilan atas
individu atau proses-proses hukum apapun. (Komisi
mengatakan mereka tidak merekomendasikan amnesti karena
tak ada pelaku kejahatan tertuduh yang mengungkapkan
kebenaran utuh atau bekerja sama penuh dengan komisi.
Mereka juga mengungkapkan bahwa kesimpulannya tidak
mewakili proses terakhir atau rekonsiliasi, tapi lebih
merupakan suatu awal.)
PBB menganggap mandat
komisi untuk memberikan amnesti melanggar norma
internasional terhadap impunitas dan menolak bekerja
sama dengan mereka. Selain itu, Gereja Katolik
Timor-Leste dan organisasi-organisasi masyarakat sipil
lainnya di kedua negara menyatakan keberatan terhadap
KKP, karena melemahkan dan menunda usaha-usaha membawa
keadilan dan akuntabilitas.
KKP mengumpulkan
testimoni dari banyak tokoh berkuasa dalam sesi pribadi,
dan korban Timor-Leste yang memberikan kesaksian terbuka
mengalami pelecehan. Indonesia menolak memberi KKP akses
terhadap data-data militer. Meski hanya sekitar 1%
pembunuhan dan pembantaian selama pendudukan ilegal
terjadi pada tahun 1999, komisi hanya boleh mengkaji
kurun waktu tersebut.
Juni lalu, koalisi internasional dari lebih 90
organisasi HAM dan lain-lainnya menulis surat ke
Sekjen PBB bahwa laporan CTF "tidak boleh dipandang
sebagai putusan akhir." Kelompok ini mendesak Ban Ki-Moon
"bekerja menciptakan proses hukum yang sesungguhnya guna
mengadili kejahatan atas kemanusiaan, kejahatan perang
dan berbagai kejahatan serius lain yang dilakukan
pasukan Indonesia selama pendudukan Timor-Leste."
Di awal tahun 2000,
Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur
yang dibentuk pemerintah Indonesia, yang bekerja dengan
sumber daya lebih minim dan waktu lebih singkat
dibanding KKP, merekomendasikan sejumlah individu untuk
menjalani penyelidikan dan pengadilan. Mulai sejak
pasukan Indonesia menarik diri, para ahli yang bekerja
atas nama Komisi HAM PBB, Komisi Tinggi HAM PBB dan
Sekjen PBB telah menghasilkan sejumlah laporan bernilai
tinggi tentang peristiwa 1999.
Komisi Penerimaan,
Kebenaran dan Rekonsiliasi independen dari Timor
Leste, mengeluarkan laporan lengkap 2.500 halaman
tentang konteks dan rincian pelanggaran HAM dari tahun
1974 hingga 1999. Meski
Proses Kejahatan Serius yang didukung PBB
mengeluarkan tuduhan kepada hampir 400 orang atas
kejahatan tahun 1999 di Timor-Leste, lebih dari 70% dari
mereka, termasuk Jenderal Wiranto dan petinggi militer
Indonesia lainnya, menikmati surga di Indonesia.
ETAN memperjuangkan
demokrasi, keadilan dan hak asasi manusia atas
Timor-Leste (Timor Timur) dan Indonesia. Untuk latar
belakang tambahan, lihat
www.etan.org.