July 27, 2016 - Three human
rights groups, TAPOL,
ETAN, and
Watch Indonesia!, today criticized President Joko
(Jokowi) Widodo’s appointment of former Indonesian Military
(TNI) commander General (Ret.) Wiranto as Coordinating
Minister for Political, Legal and Security Affairs.
Wiranto replaces General (Ret.) Luhut Pandjaitan. Cabinet
Secretary Pramono Anung,
told the media that Wiranto was appointed “because
he had been well-tested and was experienced
in resolving various assignments, especially during
the transition period from the New Order to the Reform
era in the late 1990s.”
The cabinet secretary
neglected to mention that Wiranto’s experience includes
a long and dark record of human rights violations for
which he has never been held accountable.
“President Jokowi must annul
his appointment of Wiranto and instead bring him to
justice,” said Basilisa Dengen from Watch Indonesia!
John M. Miller for the East Timor and Indonesia Action
Network (ETAN) called the Wiranto appointment “an outrage.”
He added that “Jokowi has clearly abandoned all pretense
to concern about accountability and justice for past
human rights crimes."
Wiranto is the most senior
Indonesian official
indicted in 2003 by the United Nations’ Serious
Crimes Unit, which was a section of the Office of the
General Prosecutor of Timor-Leste (East Timor).
By installing
a human rights violator to a key security position,
President Jokowi has insulted our sense for
justice. He has turned his back to the victims,
survivors and their families, and universal
respect to human rights.
The appointment of Wiranto
as a coordinating minister confirms that Jokowi’s does
not consider human rights as a priority of his government.
This is not the first time Jokowi appointed military
generals with poor human rights records to his administration.
Victims and human rights organizations have been waiting
for Jokowi to fulfill his election promises to resolve
a number of past and present human rights violations. “By installing a human rights
violator to a key security position, President Jokowi
has insulted our sense for justice. He has turned his
back to the victims, survivors and their families, and
universal respect to human rights," said Adriana Sri
Adhiati of TAPOL. TAPOL, ETAN, and Watch Indonesia!
urge President Joko Widowo to prove his commitment to
uphold human rights and resolve past human rights abuses.
It is long overdue for the Indonesian government to
reveal the truth and provide justice and reparations
to the victims of human rights violations.
The groups also urge the Indonesian government to
work with the Timor-Leste government to promote accountability
for human rights violations in Indonesia and East Timor,
particularly by implementing the recommendations of
CAVR (Commission
for Reception, Truth and Reconciliation)
and CTF (Commission for
Truth and Friendship).
The groups also called
for President Joko Widodo to apply a strict vetting
policy before the appointment of his ministers in order
to realise a respectable and competent government.
East Timor was a former
colony of Portugal that Indonesia illegally invaded
and occupied in 1975. The UN conducted a referendum
on the question of independence in 1999. After the East
Timorese voted overwhelmingly to reject Indonesian rule,
Indonesian security forces and militia under Wiranto’s
command destroyed most of the territory’s infrastructure,
killed more than 1,000 independence supporters and forcibly
deported more than 250,000 people to West Timor.
The indictment alleges that under international
law, General Wiranto, at the time Minister of Defense
and chief of the Indonesian Armed Forces, was responsible
for crimes against humanity for failing to punish or
prevent crimes, including murder and persecution, committed
by his subordinates or those acting under his effective
control in the period before and after the 1999 popular
consultation in East Timor. The indictment is outstanding
but no trial has been held.
The indictment was accompanied
by an application for a warrant of arrest, meaning that
Wiranto and other indicted military officers face the
possibility of arrest and extradition to Timor-Leste
should they travel outside of Indonesia.
In 2002,
the Government of Indonesia set up an Ad-Hoc Human Rights
Court for East Timor to hear cases of human rights abuses
committed in 1999 in East Timor. However, Wiranto’s
was excluded from list of suspects.
Wiranto was also the commander in-charge when the
shootings of Trisakti University students in Semanggi
took place, shortly followed by the violent riots of
May 1998, which are believed to be the work of of the
military. Many student activists are still missing.
The National Commission for Human Rights (Komnas HAM)
conducted a pro justicia investigation that concluded
that the army commander was responsible for these crimes
against humanity. Wiranto refused to participate in
the investigation.
Despite his indictment,
Wiranto - who once said that the atrocities in 1999
resulted from internal conflict in East Timor with no
involvement from the Indonesian military - plays a prominent
role in Indonesian politics. He ran for president in
2004 and 2009 and served the chair of the Hanura Party
(People’s Conscience Party), which won 5.26% of the
national vote in the last election and joined with other
parties supporting Jokowi’s run for the presidency.
Berlin, London, New York
27 July 2016 East Timor and Indonesia Action Network
(ETAN) (www.etan.org)
Pengangkatan Jenderal
(Purn) Wiranto sebagai Menteri mengukuhkan adanya impunitas
berurat-akar di Indonesia
27 Juli 2016 – Tiga lembaga
hak asasi manusia, TAPOL, ETAN, dan Watch Indonesia!, hari ini
mengritik keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengangkat
Jenderal Purnawirawan Wiranto sebagai Menteri Koordinator bidang
Politik, Hukum dan Keamanan. Wiranto menggantikan Jenderal Purnawirawan
Luhut Pandjaitan.
Sekretaris
Kabinet Pramono Anung mengatakan kepada media bahwa Wiranto
terpilih “karena ia telah teruji dan berpengalaman dalam menangani
berbagai tugas, terutama pada masa transisi dari pemerintahan
Orde Baru ke masa Reformasi di akhir tahun 1990an.”
Sekretaris
Kabinet tidak menyebutkan bahwa pengalaman Wiranto juga mencakup
sejarah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang panjang dan
kelam, yang tidak pernah ia pertanggungjawabkan.
“Presiden
Jokowi harus membatalkan pengangkatan Wiranto dan membawanya
ke pengadilan,” kata Basilisa Dengen dari Watch Indonesia!
John
M. Miller dari East Timor and Indonesia Action Network (ETAN)
menyatakan bahwa pengangkatan Wiranto adalah “suatu penghinaan”.
Ia menambahkan bahwa, “Jokowi sudah terang-terangan, tidak lagi
berpura-pura peduli akan akuntabilitas dan keadilan atas kejahatan
HAM di masa lalu.”
Jokowi sudah terang-terangan,
tidak lagi berpura-pura peduli akan akuntabilitas dan
keadilan atas kejahatan HAM di masa lalu.
Wiranto adalah perwira
Indonesia paling senior yang didakwa oleh Unit Kejahatan Serius
PBB, yang merupakan bagian dari Kantor Kejaksaan Agung Timor
Timur.
Pengangkatan
Wiranto sebagai menteri koordinator menegaskan sikap Jokowi
yang tidak memandang hak asasi manusia sebagai agenda prioritas
pemerintahannya. Bukan untuk pertama kalinya Jokowi mengangkat
jenderal militer dengan rekam jejak HAM yang buruk dalam pemerintahannya.
Para penyintas dan organisasi HAM telah menantikan pemenuhan
janji-janji kampanye presiden Jokowi untuk menuntaskan sejumlah
pelanggaran HAM masa lalu dan saat ini.
“Dengan
menempatkan seorang pelanggar HAM pada posisi utama di bidang
keamanan, Presiden Jokowi telah menghina rasa keadilan kita.
Ia telah memunggungi para korban, penyintas dan keluarga mereka,
serta mengingkari penghormatan atas hak-hak asasi manusia,”
tegas Adriana Sri Adhiati dari TAPOL.
TAPOL,
ETAN dan Watch Indonesia! mendesak Presiden Joko Widodo agar
membuktikan komitmennya untuk menjunjung HAM dan menuntaskan
pelanggaran HAM masa lalu. Seharusnya sudah sejak lama pemerintah
Indonesia mengungkap kebenaran dan membawa keadilan dan pemulihan
bagi para korban pelanggaran HAM.
Ketiga
organisasi HAM ini juga mendesak pemerintah Indonesia agar bekerjasama
dengan pemerintah Timor-Leste untuk mendorong akuntabilitas
terhadap pelanggaran HAM di Indonesia dan Timor Timur, terutama
dengan melaksanakan rekomendasi CAVR (Komisi untuk Penerimaan,
Kebenaran dan Rekonsiliasi di Timor Timur) dan CTF (Komisi untuk
Kebenaran dan Persahabatan).
Presiden
Joko Widodo juga diminta untuk menerapkan proses seleksi yang
ketat sebelum menunjuk para menteri demi mewujudkan pemerintahan
yang berwibawa dan kompeten.
Latar Belakang
Timor
Timur adalah bekas koloni Portugal yang diserang dan diduduki
secara tidak sah oleh Indonesia pada tahun 1975. PBB mengadakan
referendum tentang kemerdekaan pada tahun 1999. Setelah warga
Timor Timur secara mayoritas memilih untuk menolak kekuasaaan
Indonesia, tentara Indonesia dan milisi dibawah komando Wiranto
membumihanguskan sebagian besar infrastruktur di sana, membunuh
lebih dari 1.000 orang pendukung kemerdekaan dan mendeportasi
secara paksa lebih dari 250.000 orang ke Timor Barat.
Unit
Kejahatan Serius PBB mendakwa Jenderal Wiranto - yang pada saat
itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Komandan Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) - berdasarkan hukum internasional
bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan karena
gagal menghukum atau mencegah kejahatan, termasuk pembunuhan
dan persekusi, yang dilakukan oleh para bawahannya atau mereka
yang bertindak dalam pengawasannya sebelum dan setelah jajak
pendapat di Timor Timur tahun 1999. Proses pengadilan atas dakwaan
tersebut hingga hari ini belum dilaksanakan.
Dakwaan
tersebut disertai dengan surat perintah penangkapan, artinya
Wiranto dan perwira militer lain yang didakwa menghadapi kemungkinan
ditangkap dan diekstradisi ke Timor-Leste jika mereka bepergian
ke luar Indonesia.
Pada
tahun 2001, Pemerintah Indonesia membentuk Pengadilan HAM Ad-Hoc
kasus Timor Timur untuk mendengarkan kasus pelanggaran
HAM yang dilakukan pada tahun 1999 di Timor Timur. Namun, Wiranto
tidak dimasukkan dalam daftar tersangka meskipun telah direkomendasikan
dalam penyelidikan Komnas HAM.
Wiranto
juga menjabat sebagai Panglima ABRI pada waktu berlangsung penembakan
mahasiswa Universitas Trisakti dan penembakan mahasiswa di Semanggi,
yang tidak lama kemudian disusul oleh kerusuhan berdarah pada
bulan Mei 1998. Rangkaian peristiwa tersebut diyakini didalangi
oleh militer. Banyak aktivis mahasiswa masih hilang hingga hari
ini. Penyelidikan ‘pro justicia’ yang dilakukan Komnas HAM menyimpulkan
bahwa Panglima ABRI bertanggung jawab atas kejahatan terhadap
kemanusiaan tersebut. Wiranto menolak berpartisipasi dalam penyelidikan
itu.
Kendati
berstatus terdakwa, Wiranto – yang sebelumnya pernah mengatakan
bahwa kejahatan tahun 1999 adalah akibat konflik internal di
Timor Timur tanpa keterlibatan militer Indonesia – memainkan
peran menonjol dalam dunia politik Indonesia. Ia mencalonkan
diri sebagai presiden pada tahun 2004 dan 2009 serta menjabat
sebagai ketua partai Hanura, yang memenangkan suara sebesar
5,26% dalam pemilihan umum terakhir dan bersama beberapa partai
politik lainnya mendukung pencalonan diri Jokowi sebagai presiden.
ETAN is "A voice
of reason, criticizing the administration's reluctance to address
ongoing human rights violations and escalating oppression in
West Papua and against religious minorities throughout Indonesia."